Ads 468x60px

Pages

Jumat, 25 Februari 2011

FENOMENA POLITIK KEKERABATAN MARAK DI DAERAH

Politik Indonesia sejak Orde Baru ditandai menonjolnya politik ‘keluarga besar’. Masuknya kepala daerah mengirim isteri, anak, menantu, dan kerabat dekatnya menjadi pengurus partai politik. Sejak reformasi partai-partai politik terus melanjutkan tradisi ‘kekeluargaan’ ini.
Yang sangat dekat adalah munculnya calon-calon kepala daerah yang berasal dari ikatan satu darah atau keluarga dengan pejabat incumbent.
Di Lampung, Rycko Mendoza ZP, putra Gubernur Lampung Sjachruddin ZP sebagai Bupati Lampung Selatan; anak Bupati Tulang Bawang, Aries Sandi Dharma sebagai Bupati di Pesawaran.Di Tabanan, Bali, ada Ni Putu Eka wiryastuti yang juga anak Bupati sebelumnya. Sedangkan di Kediri ada Haryanti Sutrisno, yang tak lain adalah istri Bupati juga. Di Cilegon, Banten, ada Imam Aryadi yang juga Putra Walikota. Sedangkan di Bantul, Yogyakarta, Sri Suryawidati yang juga istri Bupati sebelumnya, Idham Samawi, terpilih sebagai Di Indramayu, ada nama Anna Sophanah yang juga terpilih sebagai Bupati. Suami Anna, sebelumnya juga Bupati.
Sirkulasi elit politik pun ibarat kisah zaman kerajaan-kerajaan. Kekuasaan dialihkan dan diserahkan kepada anak atau sanak famili lainnya. Jika di zaman Suharto, ‘roh kekuasaan’ seolah berputar di sekitar Cendana, dengan politik berbasis ‘keluarga besar’. Hal inilah adalah sebuah “penyakit”. Bukannya menghilang, Nepotisme malah semakin menjadi-jadi saja, dan berlangsung melalui mekanisme elektoral yang ‘demokratis’.
Praktek Nepotisme telah ditunjukkan oleh penguasa dengan mengisi beberapa posisi kekuasaan strategis dari kalangan sanak keluarga dan kerabat terdekat. Akibatnya, Nepotisme berkembang menjadi hegemoni yang bermuara pada praktek Korupsi dan bentuk konspirasi lainnya yang berujung pada penumpukan kekuasaan. Demikian pula Nepotisme dengan sendirinya menutup ruang kekuasaan masyarakat yang mempunyai hak dipilih dan memilih dalam sistem demokrasi. Bahkan, demokrasi bisa dikatakan “mati suri” berganti sistem kekuasaan aristokrasi di mana calon penguasa sudah ditentukan oleh penguasa sebelumnya. Politik dinasti sah-sah saja sepanjang calon yang maju memiliki kemampuan dan rekam jejak yang baik. Namun untuk mengisi jabatan publik dan politik jauh lebih baik dilakukan dengan cara merekrut orang sesuai kemampuan dan kompetensi. Politik kekerabatan pastinya menciptakan banyak potensi negative yang muncul. Selain Nepotisme, tentunya ke tidakadilan bagi penerapan hukum akan terjadi, serta menghambat proses konsolidasi pembangunan demokrasi. Suatu fenomena yang mengundang perhatian banyak kalangan karena rentan terjadinya hal-hal negatif menyangkut kekuasaan. Hal ini terbukti pada periode 2010 lampung dan banten masuk dalam provinsi 15 terkorup versi ICW.
Walaupun antara Nepotisme dan politik dinasti terdapat kesamaan dalam menyandarkan kekuasaan, keduanya mempunyai proses dan kemungkinan efek yang berbeda satu sama lain. Dalam kategori Nepotisme, kekuasaan biasanya diperoleh melalui pengangkatan (ditunjuk) oleh penguasa dengan tujuan menancapkan higemoni sehingga mempermudah negosiasi serta berbagai rencana politik lainnya. Sedangkan dalam politik sekarang, proses untuk mencapai kekuasaan tetap mengikuti mekanisme demokrasi melalui sistem partai yang secara internal mempunyai rule of the game sesuai partai bersangkutan. Akan tetapi, politik dinasti memiliki potensi besar menjadi Nepotisme kekuasaan apabila mampu mencapai higemoni.
Karena politik sekarang berkaitan dengan partai, maka kemunculannya tidak dapat dilepaskan dari aturan dan mekanisme partai tersebut dalam menjalankan fungsi distribusi kekuasaan. Selama ini, partai hanya dipahami sebagai mesin politik yang mengantarkan seseorang menuju kursi kekuasaan dengan melupakan fungsi lainnya seperti agregrasi publik (akumulasi atas aspirasi publik), kontrol atas jalannya pemerintahan, dan pendidikan politik. Sehingga, tidak mengherankan bila terdapat beberapa partai yang mengusung caleg instan tanpa melalui proses kualifikasi fit and proper test dengan melihat kematangan politik dan intelektual.